Rabu, 09 Juni 2010

“PENGAMEN JALANAN” TIDAK PERLU DISINGKIRKAN


Krisis merupakan salah satu masalah yang sampai saat ini masih kita hadapi bersama. Perlu kita ketahui bahwa sudah lebih dari 10 dasawarsa masyarakat kita banyak yang menjalani hidupnya masih serba kekurangan, khususnya masyarakat Golongan Menengah Bawah dan Masyarakat kecil. Kalau lebih ditelusuri lagi, lebih dari 70% masyarakat Indonesia yang hidupnya masih berkekurangan atau tidak sejahterah.

Ironisnya, masih saja banyak penduduk miskin kita yang masih mengharapkan kesejahteraan-nya dapat dengan segera diperbaiki oleh pemerintah, padahal kita tahu sendiri bahwa keadaan keuangan pemerintah tidaklah selalu dalam keadaan baik.
Akibat krisis ini akhirnya kita dapat melihat sendiri bahwa akibat dari krisis dalam kehidupan-nya, maka secara alamiah biasanya akan muncul suatu kemampuan yang “unik” dari masyarakat itu sendiri untuk “menyembuhkan” dirinya sendiri dari keadaan krisis tersebut. Maka, tidak jarang kini kita dapat melihat masyarakat yang menjadikan dirinya sebagai “penyanyi jalanan” atau sering kita sebut dalam kehidupan sehari-hari dengan istilah “pengamen”.

Pengamen, yang selalu dapat kita jumpai tiap hari di jalanan,buskota, rumah makan, sampai kereta api, seperti menempati posisi yang tidak menguntungkan pada kelas sosial masyarakat. Di jakarta ini, jumlah pengamen sudah lebih dari seribu orang pengamen jalanan. Bagi mereka, pekerjaan mereka sama mulianya dengan profesi lainnya. Dan oknumlah yang melahirkan konotasi negatif dari pengamen. Sama seperti konotasi negatif bagi polisi, pejabat, pengusaha, seniman, dokter, guru yang diimbaskan oknum. Namun sebagian masyarakat seperti tidak mau tahu, profesi ini tetaplah bernada miring, fals. Yang mereka tahu, pengamen adalah kumpulan manusia malas, pemaksa, dan amat mengganggu.

Akan tetapi, para pengamen jalanan ini banyak yang tidak setuju dengan cap-cap buruk yang dilontarkan oleh masyarakat sekitar tersebut. Mereka tidak mau disebut sebagai pemalas karena jelas terlihat bahwa mereka bekerja keras dengan bernyanyi dari satu tempat ke tempat lain dan terkadang mereka pun bekerja tidak kenal cuaca. Jadi, meskipun panas terik ataupun hujan, mereka tetap saja mengamen demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka pun sebagai pengamen juga tidak mau disebut sebagai pengganggu karena menurut mereka kita semua sama, sama dalam arti yaitu sama-sama melakukan pekerjaan dan demi tujuan yang sama meskipun caranya berbeda.

Sebut saja Bagus, salah seorang pengamen jalanan yang terkadang kesal melihat oknum yang mengaku sebagai pengamen, lalu oknum tersebut meminta uang dengan paksa kepada penumpang. Melihat hal tersebut, beberapa bulan yang lalau, ia bersama dengan kelompoknya tidak segan-segan untuk memberi pelajaran kepada oknum tersebut. Keberadaan orang-orang semacam itu memang meresahkan, bukan saja meresahkan penumpang tapi juga meresahkan para pengamen ‘asli’ yang identitasnya merasa tercoreng. Akibatnya masyarakat mengeneralisasi profesi pengamen.

Padahal sekarang ini tak sedikit pengamen yang berhasil menjadi penyanyi terkenal, sebut saja Iwan Fals, Didi Kempot, Angel Mama Mia, dan yang paling hot, Januarisman atau Aris, yang sekarang menjadi kandidat kuat pemenang Indonesia Idol 2008. Mereka adalah orang-orang yang berhasil menaklukan kerasnya jalanan Ibukota. Dan yang jelas ini juga bukti, bahwa stereotip pemalas, tukang minta-minta dan pemaksa adalah tidak sepenuhnya benar dialamatkan kepada mereka. Diantara mereka ada yang benar-benar berjuang setengah mati hanya dem i menyambung hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar