Rabu, 09 Juni 2010

Makna Gereja

1. Asal kata
Sampai sekarang kita sering menggunakan kata Gereja yang menunjuk pada sekumpulan orang beragama (kristiani) tertentu; atau mengacu pada gedung tertentu yang digunakan untuk beribadat oleh orang kristiani tertentu pula. Kata Gereja ini sendiri berasal dari kata Portugsi ‘igreja’ yang di-indonesiakan dengan menghilangkan hurup ‘i’ sebagai mana sering terjadi dalam perpindahan bahasa. ‘Igreja’ sendiri berkaitan dengan kata ‘Iglesia’ (Spanyol) dan ‘Eglise’ (Prancis) serta ‘Ecclesia’ (Latin) sampai ke ‘Ekklesia’ (Yunani) dengan perubahan huruf hidup serta huruf mati sedikit seturut kesamaan daerah artikulasi namun tanpa perubahan arti.
Secara etimologis, kata ‘ekklesia’ (Yunani) sendiri berarti siding, perkumpulan, perhimpunan, paguyuban pada umumnya (seperti di kampong, di kota atau negara). Dalam kosa kata aslinya, kata itu malah tidak dipergunakan untuk menunjuk pada ‘perkumpulan ibadat’. Dalam terjemahan alkitab bahasa Yunani, kata ‘ekklesia’ secara khusus hanya dipakai sebagai terjemahan kata Ibrani ‘Qahal’.
Dalam Kejadian, Imamat dan Bilangan, ‘qahal’ disalin dengan kata ‘syonagoge’(sinagoga). ‘Qahal’ menunjuk pada suatu perhimpunan orang untuk kepentingan tugas militer, pertemuan politik atau keputusan pengadilan mau pun ibadat. Kata ‘syonagoge’ biasanya berarti perkumpulan, tempat perkumpulan, panen dan dapat juga pengumpulan prajurit.
Dalam Perjanjian Baru, kata ‘ekklesia’ dipakai Paulus untuk menunjuk pada orang-orang yang terpilih dalam Allah. Yohanes menulis tentang ‘ekklesia’ yang menunjuk pada paguyuban orang, yang terlah tumbuh dan berhimpun di suatu tempat. Sampai akhirnya, kata ‘Ekklesia’ yang kemudian menjadi Gereja dipergunakan untuk kelompok orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Penggunaan itu saat-saat sesudah Salib dan Kebangkitan Yesus Kristus (Dalam tulisan-tulisan, penggunaan kata gereja dengan ‘g’ kecil, menunjuk pada gedung ibadat orang kristiani).


2. Gereja Sebagai Umat Allah
Istilah ‘Umat Allah’ sudah digunakan dalam Perjanjian Lama, yang dimunculkan dan dihidupkan kembali oleh Konsili Vatikan II. Gereja sebagai ‘Umat Allah’ dimunculkan kembali, mungkin karena sudah terlalu lama Gereja menjadi terlalu hierarkis, didominasi oleh kaum rohaniwan dan awam yang adalah mayoritas dalam Gereja agak terdesak dan terpinggir.
Gelar “Umat Allah” menolak suatu klerikalisasi dalam Gereja. Jika Gereja secara mendasar disebut sebagai Umat Allah maka secara mendasar pula diakui bahwa kesamaan segala anggota harus diutamakan lebih dari pada perbedaan menurut panggilan, kharisma atau tugas.
Semua orang beriman menjadi “umat pilihan”, “umat yang kudus”, “imamat rajawi”.

Gagasan Umat Allah yang menurut Dokumen Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium yang mengungkapkan misteri Gereja itu sendiri, merupakan suatu kritik atas kecenderungan zaman dahulu yang memandang kaum klerus sebagai Gereja dan kaum awam sebagai ‘laicus’ (anggota saja). ‘Laikos’ mendapat arti sebagai orang-orang yang tidak ditahbiskan, orang-orang yang tidak terpelajar. Arti yang demikian tidak terdapat dalam Perjanjian Baru. Laos menurut Perjanjian Baru justru merumuskan kesatuan seluruh bangsa yang suci itu. Barulah sejak abad ke 3 (zamannya Kaisar Constantinus Agung) muncul perbedaan antara ‘clerici’ dan ‘laici’.


Dengan paham Gereja sebagai ‘Umat Allah’, diakui kembali kesamaan martabat dan peranan semua anggota Gereja.
Semua anggota Gereja memiliki martabat yang sama, hanya berbeda dalam hal fungsi. Artinya bahwa tentu saja di dalam Umat Allah yang baru terdapat perbedaan-perbedaan yaitu aneka ragam kharisma, pelayanan-pelayanan, tugas-tugas dan jabatan-jabatan (diakon, imam, dan uskup). Toh betapa pun pentingnya perbedaan-perbedaan itu, sifatnya hanya sekunder saja. Meskipun ada jabatan (diakon, imam atau uskup) atau kedudukan seseorang, tetaplah ada hal-hal yang sama bagi semua orang kristiani yakni hal yang menentukan keselamatan yaitu iman, pengharapan dan cintanya pada Tuhan. Dan yang terpenting juga adalah bahwa ada konsekuensi jika Gereja dikatakan sebagai ‘Umat Allah’.

Konsekuensinya adalah umat juga terlibat dalam hidup menggereja. Umat menyadari dan menghayati persatuannya dengan umat lain karena orang tidak dapat menghayati kehidupan imannya secara individu saja. Kemudian setiap orang beriman harus aktif dalam kehidupan mengumat, menggunakan segala kharisma, karunia, dan fungsi yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan dan misi Gereja di tengah masyarakat. Semua bertanggungjawab dalam hidup dan misi Gereja. Umat pun akhirnya menjadi partner hierarki dan bukan hanya sebagai pelengkap saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar